Fenomena Hijabers, Hasil Dialektika dengan Pop Culture

Oleh : Dita Fitri Alverina

Kemunculan tren hijab style di Indonesia merupakan salah fenomena di dunia muslimah yang mencuat dan masih bertahan sampai saat ini. Kini tidak hanya istilah jilbabers dengan kekhasannya yang akrab di telinga muslimah. Keunikan desain membuat istilah hijabers muncul mengalahkan istilah jilbabers. 

Hijab merupakan sebuah mahkota bagi seorang muslimah. Hijab memang sudah lama masuk pada negara Indonesia, dulunya hijab tidak menampilkan berbagai ragam jenis dan gaya berbusana dengan hijab. Hijab dulunya hanya sebagai penutup aurat bagi wanita muslim, dan sebagai pelengkap syarat dalam syariat islam untuk tidak memperlihatkan auratnya. Oleh sebab itu hijab dulu hanya seperti kerudung biasa, atau hanya sekedar kerudung segi empat dan sebagainya, yang dipergunakan oleh kaum wanita muslim di Indonesia.

Muslimah tampil gaya dengan busana yang tak kalah menarik dengan gaya kontemporer memang begitu terlihat belakangan seiring perkembangan naiknya pamor busana muslim. Hal itu pun kemudian diikuti dengan tren hijabers yang semakin meroket gaungnya. Sehingga muncul sebuah komunitas, yaitu Hijabers Community di beberapa kota besar di Indonesia.

Komunitas hijabers adalah komunitas jilbab  kontemporer yang terdiri atas sekumpulan orang yang ingin terlihat sama dalam bergaya dan berbusana. Komunitas ini menginisiasi dan mengembangkan tren baru berkerudung bagi wanita  muslim Indonesia. 

Hijabers ini dilihat dari sisi sosiologis merupakan hasil dari semangat keberagaman dalam religiusitas. Seperti yang diungkapkan Aang Ridwan, selaku pengamat perkembangan Islam Kontemporer mengatakan “Hijabers ini lahir dari semangat keberagaman entitas masyarakat tertentu, yakni masyarakat muslim perkotaan  yang berdialektika dengan budaya pop,” ujarnya. 

Budaya Pop
Pop culture atau budaya populer mulai berkembang sejak dasawarasa 1920-an ke atas. Dasawarsa 1920-an dan 1930-an merupakan titik balik penting dalam kajian dan evaluasi budaya populer (Strinati:4) dimulai dari munculnya sinema dan radio produksi massal dan konsumsi kebudayaan ,bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara barat ,semuanya memainkan peran dan memunculkan perdebatan atas budaya massa. Selain itu perubahan sosial lainnya dihasilkan oleh kemajuan industri. Perkenalan masyarakat industri dan pergeseran pola hidup modern tersebut menjadi bagian budaya jam kerja dan waktu libur. (dikutip dari menjamu popularitas oleh bimo nugroho) dengan adanya hal tersebut justru membuka peluang lain yaitu, hiburan.

Aang menambahkan, “Budaya pop adalah budaya yang di produksi secara massal oleh media massa. Media massa itu hidup kalau ada pengiklan, kita sudah ketahui bahwa kebutuhan pengiklan berasal dari golongan kapitalis. Sehingga budaya pop merujuk pada budaya konsumeris,” ungkapnya ketika ditemui di gedung Fak. Dakom UIN SGD Bandung beberapa waktu lalu.

Salah satu karakteristik dari budaya pop adalah budaya gaya, sehingga muncul filsafat orang sekarang yaitu “Aku bergaya maka Aku ada”, jadi keberadaan kita saat ini diukur oleh gaya. Masalah budaya gaya ini, Aang berkomentar, “Tidak hanya dialami oleh masyarakat Indonesia yang plural, tapi di Mekkah, Madinah, atau negara Arab anak mudanya sudah terjangkit budaya gaya. Contohnya, saya pikir hanya di Amerika yang ada American Idol atau di Indonesia dengan Indonesian Idol ternyata di Arab juga ada Arab Idol , mereka muslim tapi tidak menggunakan jilbab. Kemudian contoh lain, ketika mereka shalat, baju yang digunakan bukan lagi hanya gamis panjang, tapi kaos bola dengan tulisan Lionel Messi bahkan ditambah dengan celana ketat yang biasa disebutnya celana pensil,” ujarnya ketika menceritakan pengalamannya sebagai pembimbing Umrah dan Haji. 

Di satu sisi anak muda sekarang memiliki semangat beragama yang cukup tinggi, tapi di sisi lain mereka tidak bisa membendung datangnya budaya gaya. Jadi bagaimana keberagamaan mereka tersalur dan gaya mereka juga tersalur, maka hasil dari budaya gaya ini muncullah komunitas hijabers. 

Budaya pop juga merupakan bagian dari kebutuhan manusia, tidak sepenuhnya salah. Dengan budaya populer justru jilbab itu bisa diterima dengan baik. Dulu saat jilbab sebagai doktrin di Indonesia pada tahun 1994-1995 itu kan haram anak SMA memakai jilbab, pada saat itu juga karyawan swasta, seperti pegawai bank tidak diperbolehkan memakai jilbab. Kenapa? Karena jilbab waktu itu masih pada dataran doktrin. Hingga orang takut untuk berjilbab. Ketika berjilbab itu harus ada syarat-syarat tertentu. 

Pada saat Islam masih pada dataran doktrin itu tidak populer. “Selanjutnya ketika jilbab sekarang disentuh oleh budaya populer, maka jilbab turun dari doktrin menjadi budaya,” jelas Aang. Kalau jilbab sudah menjadi budaya, tanpa harus sulit kita memaksa orang untuk berjilbab, mereka sendiri akan sadar. Dan orang akan menerima dengan senang hati, apalagi sekarang jilbab disentuh dengan kreatifitas budaya, jadi orang memakai jilbab tidak kaku, modelnya bervariasi.  Aang juga menambahkan, “dengan sentuhan budaya pop, jilbab bukan hanya sebagai simbol agama tetapi juga simbol budaya religiusitas,” tambahnya.

Trend Hijab Style
Melalui komunitas hijabers ini trend mengunakan hijab menjadi meluas dan tersebar, menurut Aang, "Bagaimanapun menutup aurat itu jauh lebih baik dibandingkan mereka yang tidak menutup aurat, seperti apapun tampilannya. Walaupun mungkin awalnya berjilbab karena mode atau mengikuti trend, nantinya akan menyempurnakan jilbabnya. Setiap seorang muslimah berhak memakai jilbab. Perlahan-lahan jilbab mereka akan sempurna, InsyaAllah,” tuturnya.

Trend yang diciptakan komunitas hijabers ini diharapkan memberikan wawasan bahwa berbusana muslim juga bisa menjadi trend fashion, dan tidak harus meniru fashion style negara asing. Kita ketahui bahwa dulu memang sangat sedikit sekali seorang muslim mengerti bagaimana menampilkan fashion style dalam nuansa muslim.

Kemunculan hijabers community ini jangan dianggap sebagai kemunculan organisasi baru, tetapi sebagai semangat religiusitas dari beberapa kalangan masyarkat perkotaan, Hingga mereka memandang jilbab bukan sesuatu yang kaku, tetapi sesuatu yang bisa di modifikasi, dan di produksi. Efek terhadap produksi lokal menjadi bagus, “Produksi massal busana muslimah menjadi dilirik banyak kalangan, hingga Indonesia menjadi kiblat busana muslimah dunia,” pungkas Aang. (Dita Fitri Alverina/Jurnalistik 6-A/2011)***

Related Post



Posting Komentar