Angin bertiup sangat
kencang, matahari pun hanya memancarkan secerca sinarnya, padahal saat itu
waktu menunjukkan pukul 11 siang, suhu udara mulai menurun, hujan sepertinya akan segera datang. Di dalam
sebuah rumah kontrakan di pinggiran sungai, daerah Bandung Timur, seorang
wanita yang sudah lanjut usia umurnya kira-kira 60 tahunan mencoba menenangkan
seorang bayi yang terus-menerus menangis.
Penampilannya seperti
seorang ibu rumah tangga biasa, daster panjang berwarna ungu dengan corak bunga
putih melekat di tubuhnya, kerudung putih yang warnanya sudah kekuningan selalu
ia pakai untuk menutupi mahkotanya, dan satu hal yang selalu ia pakai yaitu
sebuah kacamata minus, badannya yang tidak terlalu gemuk, tingginya sekitar
168cm cukup semampai bagi seorang wanita yang sudah lanjut usia, Ua Esih, begitulah orang-orang dan tetangga
dekat kontrakannya memanggilnya.
Sejak tiga bulan
terakhir, semenjak anaknya Ua Esih, Ani, menitipkan kedua jagoannya kepada Ua
Esih. Ua Esih menjadi kelimpungan, hari-harinya selalu ditemani oleh teriakan dan
tangisan dari cucu-cucunya itu. Ani bukan tanpa sebab menitipkan anaknya kepada
Ibunya, suami Ani meninggalkan dirinya dan ternyata suaminya telah menikah lagi
dengan wanita lain, hal ini mengakibatkan Ani dan kedua anaknya terlantar,
karena tidak lagi diberi nafkah oleh sang suami. Oleh sebab itu, Ani harus
banting tulang membiayai keluarga. Kebetulan ia mendapat pekerjaan di Jakarta
yang menyebabkan dirinya harus meninggalkan kota Bandung.
Di rumah kontrakan,
Ua Esih tinggal dengan cucunya yang lain bernama Redi, ibu Redi telah lama
meninggal dunia sejak Redi berusia lima tahun dan sekarang dia sudah berumur 12
tahun. Sehingga Redi sejak kecil diasuh oleh nenek dan kakeknnya, yakni Ua Esih
dan suaminya. Redi merupakan anak yang hyperactive,
tidak mau diam. Enam bulan yang lalu suami Ua Esih sakit stroke, setelah
berjuang melawan penyakitnya, akhirnya beliau dipanggil oleh Maha Kuasa. Dan
sekarang, Ua Esih tinggal dengan ketiga cucu laki-lakinya, yaitu Redi, dan
kedua anak Ani, yakni Yudha dan Razak.
Keadaan ekonomi yang
kurang baik, membuat kehidupan Ua Esih dan cucunya mengalami kesusahan. Suatu
hari yang mendung, sejak pagi mereka belum menyantap makanan sedikitpun. “Mah,
lapar eung.” Ungkap Redi ketika membuka meja makan yang isinya hanya panci
kosong. Tanpa menghiraukan omongan cucunya, Ua Esih masuk ke dapur, matanya
menatap ke seluruh sudut dapur, wadah demi wadah ia buka, beras pun tidak ada,
apalagi sayur-mayur. “Ntar de, beli dulu berasnya.” Tutur Ua Esih mencoba
memberi harapan pada Redi. Redi dan Yudha memang selalu memanggil dengan
sebutan ‘Mamah’ pada neneknya itu.
Sementara itu, Razak
yang masih balita sedang tertidur dan tiba-tiba menangis, sehingga Yudha ikut
terbangun karena suara tangisan itu. “Yud, mandi dulu jug.” Ujar Ua Esih sambil
menggendong Razak dan membawanya keluar kamar.
Waktu sudah
menunjukkan pukul 9 pagi, tapi matahari enggan membagi sinarnya untuk
menghangatkan bumi. Udara dingin masuk ke setiap celah-celah rumah kontrakan Ua
Esih, hal ini membuat perut kosong Ua Esih dan cucunya semakin perih. Termasuk
razak yang sejak tadi tidak hentinya menangis. Ia tahu bahwa persediaan susu
Razak telah habis, sejak sore kemarin. “Mah, Dede mau pergi ke rumah temen heula
nya.” Ungkap Redi pamit kepada neneknya. Biasanya Redi selalu meminta uang
sebelum ia pergi dari rumah, tetapi saat itu, ia tahu bahwa neneknya tidak
memilki uang, sehingga ia tidak meminta sepeser uangpun dan langsung pergi.
Suara tangisan Razak
semakin memekakan telinga Ua Esih, ia mengisi botol susu Razak dengan air teh
manis hangat, lalu memberikan pada Razak. Sementara waktu, Razak terdiam
menikmati air teh manis tersebut. Sambil terus menggendognya dalam keadaan
berdiri, Ua Esih berkata, “Jeep, jeep, suut, suut.” Kata Ua Esih sambil
menepuk-nepuk pantat Razak.
Setelah selesai
mandi, lalu memakai baju bola berlogo real madrid, Yudha langsung pergi dan
mengambil sepedanya untuk bermain. Terlihat teman-teman Yudha sambil
mengendarai sepeda masing-masing sudah berkumpul di depan jalan rumahnya.
Air teh manis dalam
botol Razak sudah habis, diluar tiba-tiba hujan mulai turun, Ua Esih mulai
khawatir dengan kedua cucunya yang hingga pukul 11 siang belum pulang,
“Kamarana barudak teh, hujan-hujan kieu bukannya diam di rumah!” Ungkap Ua Esih
menggertak pada dirinya sendiri sambil melihat ke luar jendela.
Razak terus menerus
menangis, tangisannya semakin keras hingga seperti berlomba dengan suara hujan
yang deras. Ua Esih bingung, karena dia sama sekali tidak mempunyai uang
sepeserpun, Razak tetap tidak mau berhenti menangis meski sudah di gendong oleh
neneknya. Lama kelamaan Ua Esih kesal, akhirnya membiarkan Razak terbaring di
atas kursi, sambil terus menangis. Ua Esih mengerutkan kening dengan tangannya,
ia menatap tajam ke arah cucunya itu, ia paham, ia merasa berdosa membuat
cucunya dalam keadaan lapar. Setiap kali melihat Razak, hatinya benar-benar
sakit, seperti ingin menangis. Razak yang ketika masih ada sang Ayah, selalu
terpenuhi kebutuhannya, sedangkan sekarang keadaan berbanding 180 derajat
dengan kehidupannya dahulu yang serba berkecukupan. Sekarang harus menahan
lapar karena sang Nenek selalu berada dalam kesusahan, jangankan untuk membeli
susu, untuk makanpun kadang terpenuhi kadang tidak.
Hujan malah semakin
deras, kekhawatirannya semakin tinggi, sebenarnya jika tidak hujan deras, Ua
Esih akan pergi meminjam uang ke rumah adiknya yang tidak terlalu jauh dari
rumah kontrakannya. Meminjam pada tetangga itu tidak mungkin, karena ia tidak
terlalu akrab dengan mereka. Dalam benaknya, ia berkata, “ternyata jauh dari
saudara atau keluarga tidak enak”
Waktu sudah
menunjukkan pukul 1 siang, Yudha dan Redi belum juga pulang. Razak dengan
sendirinya berhenti menangis, mungkin dia kelelahan, hingga akhirnya ia tertidur
di pangkuan Ua Esih. Mata Ua Esih sedikit berlinang, ketika menatap cucunya
yang masih balita itu tertidur. Setelah itu, ia langsung mengambil air wudhu
untuk mendirikan shalat dzuhur. Ia meminta kepada Tuhan, agar keluarganya
selalu dilindungi oleh Tuhan, dan ia selalu meminta agar diberi kekuatan dalam
menghadapi cobaan-cobaan hidup.
Televisi menyala dari
tadi, tetapi Ua Esih tidak fokus menonton tv, ditambah suara petir yang
menyambar mengakibatkan perasaannya semakin tidak karuan memikirkan kedua
cucunya yang berada di luar.
Tiba-tiba disaat
suara petir menggelegar, Yudha datang dalam keadaan basah kuyup, baju bolanya
kotor dipenuhi lumpur, satu hal yang mengagetkan adalah kepalanya berdarah,
sambil membuka pintu, seraya berkata “Assalamualaikum, mah ini Yudha dapat
uang.” Tutur Yudha menyodorkan uang lima puluh ribu kepada neneknya.
“Waalaikum salam,
Yudhaaa kamu teh darimana saja, kotor kitu, itu kenapa kepalamu berdarah.” Seru
Ua Esih yang asalnya akan marah, tetapi
ia pendam karena melihat kepala Yudha yang bercucur darah.
“Mah, ini Yudha dapat
uang.” Ungkap Yudha sekali lagi, sambil terus menyodorkan selembar uang itu
pada Ua Esih.
“Uang darimana ini
teh? Kamu nyuri ya, dari siapa jangan bohong kamu!” Ujar Ua Esih memarahi
Yudha.
Kepala Yudha
geleng-geleng, badannya kedinginan, sesekali menggigil, “Gak Mah, Gak, ini tadi
dikasih sama orang, beneran dikasih gak ngambil Yudha mah.” Sahut Yudha
meyakinkan neneknya itu.
“Bener kamu gak
nyuri, nak?” Tanya Ua Esih sekali lagi. “Beneran Mah, Yudha ga nyuri, ini di
kasih orang.” Ujar Yudha dengan nada sedikit kesal. Akhirnya Ua Esih
mempercayai apa yang dikatakan cucunya, tanpa menanya dari siapa uang itu dan
kenapa kepala Yudha berdarah, Ua Esih langsung menyuruh Yudha membeli susu ke
supermarket mini terdekat, “Alhamdulillah atuh, sok pangbeliin susu buat si
Razak, sekalian mie instan sama telor setengah kilo.” Ungkap Ua Esih.
Hujan masih deras,
tanpa berpikir panjang, karena mungkin terlalu senang, Ua Esih malah menyuruh
Yudha yang sedang terluka untuk membeli barang makanan. Setelah Yudha pergi, Ua
Esih baru sadar, bahwa cucunya sedang terluka, ia berkata pada dirinya sendiri,
“Ya Allah, Astagfirulloh, kasihan si Yudha kepalanya kan tadi bercucur darah,
kenapa saya suruh pergi lagi.” Tuturnya menyesal.
Setelah itu, selang
berapa menit kemudian Redi pulang, keadaannya basah kuyup juga. “De, darimana
ai kamu, cepat mandi sekalian keramas, biar ga sakit kepala.” Kata Ua Esih
sambil melemparkan sebuah handuk.
Yudha datang dengan
membawa barang beliannya, Ua Esih langsung membersihkan darah yang berada di
kepala Yudha dengan sebuah kain. Lalu menyuruhnya untuk mandi dan mengganti
baju.
Ua Esih pergi ke
dapur, menyalakan kompor gasnya untuk memasak mie instan. Ia melihat Yudha
menciumi kening adiknya yang sedang tertidur. Saat mereka sedang menikmati mie
instan, Razak terbangun. Sesegera mungkin Ua Esih membuatkan susu yang sudah
dibeli Yudha tadi. Razak tidak menangis lagi, dia mulai senang dan bermain
dengan kakak-kakaknya.
Hari semakin sore,
hujan mulai berhenti. Hingga matahari terbenam, Yudha mengatakan sesuatu pada
neneknya, “Mah, tadi Yudha teh ditabrak motor, pas naik sepeda, terus orang
yang naik motor itu ngasih uang lima puluh ribu.” Tutur Yudha sambil
menyunggingkan sebuah senyuman. “Astagfirullohaladzim, Yudhaa.” Ujar Ua Esih,
matanya meneteskan air mata lalu memeluk Yudha. Dalam hatinya terbesit
kata-kata “Apa harus terluka dulu, baru bisa mendapat uang.”